November 12, 2021

Masyarakat Adat Andalkan Keseimbangan Alam dan Kearifan Lokal Hadapi Pandemi Covid-19

Pandemi COVID-19 telah memberikan dampak resesi ekonomi dan sosial yang mendalam, baik secara nasional maupun global. Namun dampak tersebut tidak dirasakan sepenuhnya oleh masyarakat adat, salah satunya adalah masyarakat adat Kasepuhan Ciptagelar yang selalu menjaga keseimbangan alamnya.

Pengurus Yayasan Bina Swadaya, Eri Trinurini Adhi mengatakan, pandemi COVID-19 telah mendorong pemerintah dan seluruh pemangku kepentingan termasuk masyarakat untuk melakukan refleksi terhadap arah pembangunan dengan pendekatan-pendekatan yang baru.

“Ketahanan masyarakat adat merupakan sebuah jawaban atas dampak dan memulihkan krisis ekonomi, PSPK-UGM dengan dukungan dari Bina Swadaya dan Ford Foundation melakukan background studi tentang pola kerentanan dan ketahanan masyarakat adat khususnya pada masa pandemi COVID-19,” jelas Eri ketika membuka Bincang-Bincang Wisama Hijau: Build Forward Better dengan tema “Kerentanan dan Ketahanan Masyarakat Adat dalam Menghadapi Dampak Pandemi COVID-19” yang diselenggarakan secara daring, Kamis (14/10/21).

Dikatakannya, studi ini dimaksudkan sebagai bahan masukan dalam menyusun dan mengimplementasikan strategi kesiapsiagaan dan peta jalan pemulihan ekonomi yang berkeadilan dan berkelanjutan dari krisis COVID-19.

Terdapat tiga kelompok masyarakat adat yang menjadi case study untuk memetakan kerentanan dan ketahanan mereka dalam mengelola ekonomi dan menghadapi dampak COVID-19. Mereka adalah masyarakat adat Senama Nenek di Riau, masyarakat adat Urug dengan dilengkapi deskripsi masyarakat adat Ciptagelar di Jawa Barat, dan masyarakat adat Samin (Sedulur Sikep) di Jawa Tengah. Studi di tiga masyarakat adat itu hampir selesai sehingga perlu didiseminasikan melalui seminar.

Adapun seminar yang berjalan bertujuan untuk mendapatkan berbagai kritik dan saran dalam melakukan finalisasi laporan. Seminar sendiri menyajikan presentasi laporan penelitian, pembahasan oleh para pakar dan diskusi para pemerhati masyarakat adat.

“Dalam peta jalan dan strategi aksi, kami memiliki target kelompok yang telah dilakukan studi lapangan bahwa menjadi kelompok terdampak yang terdiri atas komunitas adat, kelompok UMKM dan perempuan di sektor informal, kelompok tani, komunitas difabel, organisasi komunitas, serta kelompok marginal baik di kota dan di desa,” papar Poppy Ismalia sebagai tim Ketua Penyusunan Peta Jalan Pemulihan Ekonomi yang Berkeadilan dan Berkelanjutan Yayasan Bina Swadaya.

Lebih jauh Poppy menjelaskan, di dalam kerja penyusunan peta jalan dan strategi aksi, sebelum masuk ke draft peta jalan dan strategi aksi, dilakukan studi literatur dan studi lapangan untuk menggali kondisi dan situasi secara objektif, bagaimana kelompok-kelompok yang menjadi target analisis di dalam studi ini yang terdampak COVID-19 serta bagaimana respons dan resilience yang dilakukan oleh kelompok tersebut yang dapat menjadi pembelajaran.

Berdasarkan hasil studi lapangan masyarakat adat yang dilakukan Kepala Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan (PSPK) Universitas Gadjah Mada (UGM), Dr. Bambang Hudayana, M.A., menyampaikan bahwa pihaknya melakukan studi lapangan di tiga masyarakat adat untuk melihat keragaman dampak.

“Berdasarkan peta jalan hasil studi lapangan yang kami lakukan, pemberdayaan masyarakat adat hendaknya berbasis pada partisipasi, pendayagunaan aset lokal, serta pelestarian sumber daya lokal dan kearifan lokal,” ungkap Bambang.

Lebih lanjut dirinya mengungkapkan, bahwa pentingnya peningkatan literasi tentang pengetahuan lokal yang berkaitan dengan resiliensi agar menjadi kekuatan masyarakat adat dalam pengembangan kehidupan yang berkelanjutan. Menurutnya, perlu peningkatan rekognisi pemerintah atas hak-hak masyarakat adat, seperti tanah, pertanian lestari, dan pengelolaan ekonomi lokal.

“Peningkatan peran NGO dan lembaga donor dalam memfasilitasi prakarsa masyarakat adat dalam meningkatkan resiliensi, baik di bidang ekonomi maupun kesehatan,” tambahnya.

Sementara itu, Umi Kusumawati, salah satu warga Kasepuhan Ciptagelar pada kesempatan yang sama mengungkapkan, bahwa masyarakat adat Kasepuhan Ciptagelar hingga saat ini masih memegang teguh konsep keseimbangan alam dan menjaga adat istiadat. Meski masyarakat adat Kasepuhan Ciptagelar hidup dalam tradisi leluhur, masyarakat setempat juga mengikuti perkembangan teknologi.

Dok. Masyarakat Kasepuhan Ciptagelar

Menurutnya selama pandemi COVID-19 berlangsung, tidak ada satu kasus penularan atau infeksi COVID-19 yang terjadi pada masyarakat Kasepuhan Ciptagelar. Umi menambahkan, masyarakat Ciptagelar tidak menutup diri atau tidak berinteraksi dengan masyarakat dari luar.

“Seperti yang saya sampaikan, kami menjaga keseimbangan alam sesuai dengan adat dan tradisi yang ada di Kasepuhan Ciptagelar itu sendiri. Kami juga mengimbau kepada siapa pun yang datang ke Ciptagelar untuk waspada terhadap dirinya sendiri untuk sesuatu yang barang kali dapat membahayakan masyarakat di sini. Alhamdullilah, selama dua tahun pandemi walaupun orang yang datang ke Ciptagelar tidak bisa dibendung, tetapi tidak tidak ada catatan terjadi kasus masyarakat yang terpapar COVID-19,” ujar Umi.

Peneliti Equator, Dosen Universitas Ibnu Khaldun, Bogor, Bahagia, menyatakan, masyarakat sebenarnya telah menerapkan konsep resiliensi secara mandiri. Masyarakat telah berpartisipasi untuk melaksanakan sistem ketangguhan sebelum pandemi COVID-19 terjadi.

“Artinya, sistem kebudayaan telah terbangun sebelum adanya wabah COVID-19. Kondisi ini bukan hanya terjadi di masyarakat adat saja, tetapi kebanyakan masyarakat Indonesia yang mewariskan tradisi gotong-royong. Tetapi, lambat laun konsep ini mengalami degradasi. Artinya, kearifan lokal tidak lagi bisa menjadi model dan percontohan,” tuturnya.

Lebih lanjut Bahagia memberikan contoh, ketika pandemi COVID-19 terjadi, Indonesia mengalami krisis pangan. Padahal, menurutnya, jika kita kembali kepada tata cara tradisional atau konsep kearifan lokal, masyarakat tidak akan pernah kekurangan pangan.

Terkait pandemi COVID-19 yang berdampak pada ketahanan pangan, Umi menyampaikan bahwa keyakinan masyarakat Ciptagelar terhadap alam dan penciptanya juga diterapkan dalam sistem pertanian. Menurutnya, sistem bertani di ladang dan sawah tidak pernah menggunakan pupuk kimia, mereka hanya mengandalkan pupuk organik dan mengikuti pola alam.

Umi juga menyatakan bahwa masyarakat Kasepuhan Ciptagelar tidak mengenal paceklik, wabah, ataupun hama karena selalu menjaga keseimbangan alam. Ia menuturkan bahwa masyarakat adat Kasepuhan Ciptagelar masih menjaga tradisi menabung hasil panen. Untuk menanam padi, masyarakat di Kasepuhan Ciptagelar masih mempertahankan cara tradisional.

Panen padi bagi masyarakat Ciptagelar hanya berlangsung satu tahun sekali, tetapi tidak pernah kekurangannasi. Masyarakat adat Kasepuhan Ciptagelar, padi bukan sekadar komoditas pangan untuk konsumsi sehari-hari, melainkan sebagai simbol dari sebuah kehidupan. (Nino/Astri)